Kamis, 27 Desember 2012

Sistem Ijon Sama Dengan Riba


Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka. Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.
Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa ayat 29.
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ruyah)
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Isra ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

PENGERTIAN IJON
Menurut Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.
Siklus peredaran modal dimulai pada setiap awal musim produksi tiap komoditas, misalnya ketika pohon Petai mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim Duku, musim Melinjo, dan musim Pala berbunga, maka volume modal pinjaman yang beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung pembelian komoditas Gula Kelapa, Kelapa,Pala, Cengkih, Melinjo.

MENGAPA PETANI LEBIH MENYUKAI SISTEM IJON ?
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.
Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat.
Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak runtuh-runtuh.
Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam hubungan ekonomi antara petani dan tengkulak. Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon.

ETIKA JUAL BELI DALAM ISLAM
Setidaknya ada enam etika jual beli (bisnis) dalam Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, antara lain adalah (1) Bahwa bisnis (jual beli) dilakukan atas dasar suka sama suka; (2) Bahwa ada hak untuk melakukan khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi); (3) Menyempurnakan takaran dan timbangan; (4) Perjanjian (perikatan) dilakukan secara tertulis atau dengan dua orang saksi; (5) Larangan jual beli ijon; dan (6) Larangan menimbun.

BAI AS SALAM DAN IJON
BAI AS SALAM (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah As Salam Paralel.

KESIMPULAN
Bahwa Islam memang dengan tegas mengharamkan praktek ini, karena tidak sesuai dengan akad jual beli yang mengaharuskan kita untuk mengetahui secara mendetail jenis barang yang akan kita perdagangkan.
Dalam system ini, juga sangat kental adanya unsur Riba, yang tentu saja sangat merugikan petani, karena walupun tengkulak telah membeli, biaya produksi tetap petani yang menanggung. Namun petani agaknya tidak terlalu resah akan hal ini selama mereka dapat mendapatkan uang dengan cepat dan prosedur yang mudah
Dalam Sistem ijon, baik petani maupun tengkulaknya juga belum mengetahui secara pasti hasil panen nantinya.hal ini berarti menyalahi Etika jual beli yang mana takaran atau ukuran barang yang diperjual belikan haruslah jelas.

SISTEM IJON = RIBA
Selama ini kebanyakan dari kita mengira bahwa riba semata mata hanyalah membungakan uang. Padahal pengertian riba jauh lebih luas daripada itu. Segala jenis transaksi yang membuat nilai tukar suatu barang terhadap barang lain atau alat tukar menjadi berlebih dan tidak sepatutnya, (unjustified increment of the value by its countervalue) termasuk dalam riba.
Membeli sesuatu yang tidak jelas bentuknya / belum ada. Alias IJON
adalah riba. Membeli anak sapi yang masih dalam kandungan, itu jelas
jelas riba. Dengan demikian, future trading atau bahasa kerennya bursa
komoditi adalah jelas jelas riba.

Pasarmuslim.Online. Minggu, 21 Oktober 2007, pukul 14.30
Tegalan,Magayuarsa Kadang Tani Pada Temen Anggarap Lahan, Minggu, 21 Oktober 2007
Hasan Ali, berbagai macam transaksi dalam islam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar