Kamis, 27 Desember 2012

LARANGAN MENAWAR BARANG YANG TELAH DITAWAR SAUDARANYA


PEMBUKAAN

Pada dasarnya orang muslim satu adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidaklah satu sama lain saling menyakiti atau berbuat aniaya terhadap saudara mereka. Saling tolong menolong, kasih mengasihi, saling menghormati dan juga menghargai yang lain adalah ajaran islam yang harus diterapkannya. Sebagaimana hadits Rasul saw “dari Abu Hamzah, Anas Bin Malik r.a., pelayan Rasulullah saw., dari Nabi saw., beliau bersabda: tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (HR. Al-bukhori dan Muslim)”.1
Dalam hal bermuamalat hal ini dapat diterapkan oleh seorang muslim yang hendaknya merasa senang jika saudaranya senang dan hendaknya ia tidak menawar atau membeli barang yang telah ditawar saudaranya. Abu Hurairah r.a. mengatakan, “Rasulullah SAW telah melarang mencegat para pedagang asing, meninggikan dalam menawar harga barang dengan maksud menipu orang lain, dan menawar barang yang telah (sedang) ditawar oleh saudaranya.” (HR. Bukhori. Hadits Marfu’). Pada dua riwayat di atas terdapat larangan mengerjakan empat hal yang diharamkan, yang justru banyak dipraktikkan oleh para pedagang sekarang ini yaitu:
1. Dilarang membeli suatu barang yang telah (atau sedang) ditawar oleh saudaranya
2. Dilarang menawar suatu barang yang telah (atau sedang) ditawar oleh saudaranya
3. Dilarang mencegat para pedagang asing
4. Dilarang menaikkan (menawar) harga barang, dengan maksud menipu orang lain
Dari uraian di atas, penulis ingin sedikit membahas tentang larangan menawar barang yang telah ditawar oleh saudaranya. Sedikitnya pembahasannya yaitu menunjukkan hadits pelarangannya dan factor apa saja yang mengharamkan atau melarang.
Kiranya semoga pemaparan yang sedikit ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.

PEMBAHASAN

A.Hadits larangan Menawar Barang Yang Telah Ditawar Saudaranya

Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan ketidak senangan orang lain dan membahayakannya.
Selain itu juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shohih.2

حدّثنا قتيبة . حدّثنا الليث عن نا فع عن ابن عمر عن النبىّ ص. م. قال : لا بيع بعضكم على بيع بعض. ولا يخطب احدكم على خطبت بعض. قال : وفى الباب عن ابى هريرة وسمرة. حديث ابن عمر حديث حسن صحيح.
Qutaibiah menceritakan kepada kami, Laits menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi saw. bersabda : Janganlah sebagian dari kamu membeli barang yang akan dibeli oleh sebahagian (temanmu) dan janganlah kalian semua berkhitbah atas khitbahnya sebagian (temanmu).
Rawi berkata : di dalam bab ini, Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Samurah Hadisnya Ibnu Umar adalah Hadis Hasan Sahih

وروى عن النبي ص م انّه قال : لا يسوم الرجل على سوم اخيه. ومعنى البيع في هذا الحديث عن النبىّ ص م . عند بعض اهل العلم. هو السوم.
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda “Janganlah seorang lelaki menawar barang yang sudah ditawar temannya. Arti Al-Ba’i di dalam hadis ini dari Nabi saw. menurut ulama yaitu menawar.
Dengan dasar itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi tersebut terjadi sebelum terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “kecuali bila penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”
Selain jual beli, yang diharamkan dengan bentuk transaksi tersebut juga sewa menyewa, pinjam meminjam, peminjaman modal, musaqat, muzara'ah dan lain sebagainya. Kesemuanya tidak sah dilakukan bila telah didahului transaksi lain, diqiyaskan dengan jual beli, karena semuanya mengandung unsure menyakiti terhadap pihak lain.

B.Ruang Lingkup Pelarangan

Dalam praktiknya penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya.
Kedua, bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama. Kasus ini dianalogikan dari hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.
Ketiga, bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain. Adapun mengenai tender pada substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan kondisi barang/jasa sebagaimana diminati.
Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik penawaran ini, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line3 yaitu di antaranya:
1.Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin),
2.Objek yng ditawar harus halal dan bermanfaat,
3.Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual,
4.Kejelasan dan transparansi barang/jasa yang ditawarkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya
5.Kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
6.Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
7.Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tawaran.

C.Abstraksi Pelarangan
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Baari, Para ulama berkata, ”Menjual sesuatu sedang dalam proses penjualan adalah haram hukumnya, demikian pula membeli sesuatu yang sedang dalam proses pembelian.” Contoh kasus ini adalah seseorang berkata kepada pembeli di saat masih berlaku memilih (khiyar). ”Batalkan transaksi itu, aku akan menjual kepadamu barang serupa dengan harga lebih murah.” Atau dia berkata kepada penjual ”Batalkan jual beli itu dan aku akan membeli darimu dengan harga yang lebih mahal.” Hukum ini merupakan perkara yang telah disepakati. Adapun gambaran menawar sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain adalah dengan mengatakan kepada orang yang sedang menawar, ”Kembalikan barang itu, aku akan menjual kepadamu barang yang lebih baik darinya dengan harga serupa, atau barang yang sepertinya dengan harga lebih murah.” Atau ia berkata kepada pemilik barang ”Ambil kembali barangmu, aku akan membeli darimu dengan harga yang lebih baik.” Larangan tersebut berlaku pada saat harga telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika demikian, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli atau menawarnya adalah haram. Kemudian Ibnu Hazm menukil dari Imam Malik, dia berpendapat bahwa hukum pada hadits di atas berlaku jika penjual dan pembeli telah sepakat. Lalu Ibnu Hazm mengatakan bahwa lafazh hadits tidak menunjukkan hal itu. Namun, perlu adanya pedoman mengenai kapan diharamkan menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, sebab menawar barang yang sedang dijual kepada orang yang dapat memberi tambahan harga (lelang) tidaklah diharamkan menurut kesepakatan ulama, seperti dinukil oleh Ibnu Abdil Barr. Maka, yang dilarang adalah menawar yang lebih dari itu. Sebagian ulama madzab Syafi’i mengecualikan pengharaman ”membeli” dan ”menawar” barang yang sedang dibeli atau ditawar oleh orang lain, apabila pembeli tidak ditipu dan dirugikan, demikian yang menjadi pendapat Ibnu Hazm, seraya berdalil dengan hadits ”Agama adalah nasihat.” Semetara itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa membeli atau menawar barang yang sedang dibeli atau ditawar oleh orang lain termasuk jual-beli yang sah, tetapi pelakuknya berdosa. Sedangkan dalam madzab Maliki dan Hambali tentang rusaknya jual-beli seperti itu telah dinukil dua pendapat. Adapun para ulama madzab Azh-Zhahiri dengan tegas mengatakan bahwa jual-beli tersebut tidak sah.

D.Kesimpulan
Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut. Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi transaksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk perbuatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas ulama akan tetapi pelakunya berdosa.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mushlih.Prof.DR.Abdullah dan Prof.DR.Shalah Ash-Shawi, Jual Beli Dan Hukum-hukumnya
Al-Awwad. Dakhil bin Gunaim, kepada Para Pedagang. Al-Aqwam
Hadits Imam At-Turmudzi
Rahman. M.Thohir, Terjemah Hadits an-Nabawiyah, Surabaya:Al-Hidayah
Utomo. Setiawan Budi, Hukum Lelang Dan Tender
www/alsofwah.or.id
http://kerjoanku.wordpress.com/2009/12/16/hukum-lelang-dan-tender/
http://shinichi-ozora.blog.friendster.com/2007/07/jual-beli-yang-terlarang/




1 komentar:

  1. Coin Casino - A Member Of The CAGOBetting.com Casino
    Is Coin Casino legit? 인카지노 The following information 온카지노 is a list of casinos with Coin Casino bonus codes. 제왕 카지노 Coin Casino No Deposit Bonus.

    BalasHapus